MA Kabulkan Gugatan Rachmawati Soal Aturan Pemenang Pilpres


JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) membatalkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 5 Tahun 2019 atas gugatan sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang diajukan Rachmawati Sukarnoputri dan enam orang pemohon lainnya.

Ketentuan yang digugat adalah Pasal 3 ayat (7) PKPU yang mengatur soal penetapan pemenang Pilpres. Dalam aturan itu, dinyatakan apabila terdapat dua pasangan calon (paslon) dalam pemilihan presiden dan wakil presiden, KPU menetapkan paslon yang memperoleh suara terbanyak sebagai paslon terpilih.

"Menerima dan mengabulkan permohonan uji materiil/keberatan yang diajukan para pemohon untuk seluruhnya," bunyi putusan MA seperti dikutip dari cnnindonesia.com, Selasa (7/7/2020).

Dalam pertimbangannya, MA menyatakan bahwa PKPU tersebut bertentangan dengan Pasal 416 ayat (1) Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal itu menjelaskan bahwa paslon terpilih adalah paslon yang memperoleh suara lebih dari 50 persen dari jumlah suara dalam Pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di tiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia.

Sesuai hirarki perundang-undangan, PKPU itu dinilai MA telah melebihi aturan UU Pemilu yang lebih tinggi sehingga tidak mencerminkan asas keseimbangan, keselarasan, dan keserasian. "Menyatakan ketentuan Pasal 3 ayat (7) PKPU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat," katanya.

Perkara ini diputus oleh Ketua Majelis Hakim Supandi dengan anggota majelis Irfan Fachruddin dan Is Sudaryono pada 28 Oktober 2019. Namun salinan putusannya baru diunggah di situs MA pada 3 Juli 2020.

Perkara ini berawal dari gugatan Rachmawati yang kala itu menjadi Wakil Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ke MA terkait PKPU soal Penetapan Pasangan Calon Terpilih, Penetapan Perolehan Kursi, dan Penetapan Calon Terpilih Dalam Pemilu. Gugatan diajukan pada 13 Mei 2019.

Rachmawati mengatakan, uji materi dilakukan karena Pasal 3 ayat 7 PKPU No 5/2019 cacat hukum. Ia juga merasa hasil penghitungan suara pada Pemilu 2019 diduga terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis, dan masif.

Ketentuan Pasal 3 ayat 7 PKPU No 5/2019 dinilai berada di luar kewenangan KPU selaku penyelenggara negara, yakni mengurusi teknis Pemilu. Beleid tersebut merupakan norma baru yang disebut tidak memiliki sandaran hukum, baik UUD 1945 dan UU Pemilu.

Salah satu pemohon uji materiil PKPU No 5/2019, Hasbil Mustaqim Lubis, terkejut karena MA baru mempublikasikan putusan yang dilayangkan oleh Rachmawati dan timnya. "Tiba-tiba di media muncul dan katanya baru di-upload 3 Juli lalu," katanya seperti dilansir tempo.co.

Ketua DPD Bintang Muda Indonesia DKI Jakarta itu mengatakan, ia bersama tujuh orang lain, termasuk Rachmawati, mendaftarkan permohonan uji materiil ke MA pada 13 Mei 2019. "Pada dasarnya kami mencari kebenaran, memposisikan Pilpres atau Pileg agar sesuai prosedur hukum," tuturnya.

Hasbil merasa juga terkejut lantaran uji materi tersebut ditindaklanjuti oleh MA. "Kami pikir pada saat itu nothing to lose, artinya mungkin sudah enggak ada respon," katanya.

Hasbil mengatakan, mereka belum menentukan sikap terkait dampak putusan ini terhadap keabsahan penetapan pasangan Joko Widodo (Jokowi) dan Ma'ruf Amin sebagai presiden-wakil presiden periode 2019-2024.

"Kami belum bisa menyimpulkan dan belum ada arahan dari Ibu Rachmawati apakah kami akan ke DKPP, KPU, atau bagaimana," tuturnya. (f/int)



TERKAIT