Pilkeren Penyulut Emosi


Sebenarnya saya tak mau menceritakan obrolan di kedai kopi Babah Aliong kemarin. Sebab, obrolan kami: saya, Udin Pantau, Ali Baba dan Babah Aliong agak 'sensitif' untuk diumbar ke publik. Itu berdasarkan pendapat kami masing-masing.

Dalam obrolan itu kami berempat berada dalam situasi emosional yang tinggi. Bahkan, ada di antara kami yang bicara sambil menunjuk-nunjuk hidung dan menggebrak meja. Tapi, ya sudahlah, saya pikir ini juga bagus untuk pembelajaran tak hanya untuk kami, tapi bagi siapapun yang mengetahuinya.

Sebenarnya, topik kami di Kedai Kopi Air Mendidih hari itu sederhana saja, Yakni, seputar Pilkeren, yakni pemilihan ketua reuni. Itupun bukan tentang kami berempat, melainkan hanya Ali Baba seorang yang akan membuat perkumpulan reuni sesama pensiunan.

"Kawan-kawan aku mau bikin perkumpulan reuni. Dalam waktu dekat kami akan memilih ketua reuni. Kami sebut Pilkeren, yakni pemilihan Ketua Reuni. Keren kan?," ujar Ali Baba, mantan birokrat yang pensiun lebih awal karena sesuatu hal yang tak pantas dibeberkan di sini.

"Keren apanya? Sudah tua-tua begitu, masih mau reuni-reunian. Perbanyak beribadah sajalah," kata Udin Pantau mencerocos.

Jujur saja saya dan Babah Aliong kaget mendengar reaksi spontan Udin Pantau itu. Sementara wajah Ali Baba saya perhatikan langsung berubah merah padam. "Kok bung bicaranya begitu? Emang ada larangan nntuk reuni?" kata Ali Baba balik bertanya dengan nada tinggi.

"Memang tak ada larangan. Lagian, siapa juga yang akan melarang. Tapi menurut aku itu tak pantaslah. Mengapalah bung dan kawan-kawan bung repot-repot membuat perkumpulan yang tak penting itu. Ngabisin waktu dan buang-buang uang saja. Ya kan Bung Kumis?" kata Udin Pantau meminta dukungan saya untuk mematahkan rencana Ali Baba itu.

Saya tidak mengganguk atau menggeleng. Saya hanya diam namun seperti biasa kalau ada hal-hal yang tak saya pahami atau saya merasa tak patut untuk meresponnya, biasanya saya hanya tersenyum saja menanggapinya. "Salah ya pendapat saya?" tanya Udin Pantau melihat saya hanya tersenyum.

Saya tidak langsung menjawab. Tapi dalam hati saya katakan, kawan yang satu ini sepertinya lagi ada masalah. Sehingga bicaranya tidak ada filter dan terkesan asal 'melontong' saja. "Salah sih tidak. Cuma seharusnya bung tak bicara seperti itu. Masa dengan teman sendiri, bicaranya ketus dan main patah begitu," kata saya mencoba menjadi orang bijak.

Lagian, kata saya, kepada mereka, tidak semua yang ada maupun yang tampak dan kita dengar, harus jadi masalah besar dan diperdebatkan. "Mau reuni Bung Ali, mau pesta pora dia, itu urusan mereka. Asalkan tidak mengganggu kepentingan orang banyak saja," ucap saya.

"Haiyyaaa.lu orang kadang cerdas dan bijak juga," tiba-tiba Babah Aliong yang dari tadi jadi pendengar angkat bicara memuji saya. "Owe suka dengan ucapan Bung Kumis ini. Kenapa lu harus repot-repot ngurusi orang. Bagus lu pikirkan bagaimana anak, isteri lu, tetap bisa makan besok," ujar Babah Aliong menasehati Udin Pantau.

Ups. Saya perhatikan kali ini wajah Udin Pantau yang berganti merah padam dan duduknya terlihat gelisah. Saya yakin kawan yang satu ini emosinya langsung meletup, karena teman kami yang mantan aktivis itu memang masuk dalam kelompok "sumbu pendek", gampang meledak. Dan, ternyata, dugaan yang saya tak meleset. Buktinya?

Praakk!! Terdengar bunyi meja yang dipukul Udin Pantau dengan telapak tangannya. "Kalian bertiga sama saja. Antene rendah dan tidak mampu menganalisa apa yang saya ucapkan tadi," kata Udin Pantau dengan suara keras dan membuat para pengunjung lain yang ada di kedai kopi Babah Aliong sesaat terdiam dan melihat ke arah meja di mana kami duduk.

Kecuali saya, secara spontan Ali Baba dan Babah Aliong, langsung berdiri. Mereka melotot dengan wajah marah ke arah Udin Pantau dan seperti mau melabrak Udin Pantau. Saya pegang tangan kedua teman saya itu, dan minta mereka duduk. "Santai aja bung. Kita di kedai kopi, hanya untuk rehat dan melepas lelah. Kenapa pula pakai emosi-emosi segala," ujar saya.

Sesaat, kami berempat hanya duduk berdiam diri. Kemudian terdengar Udin Pantau melanjutkan bicaranya dengan segala teori dan justifikasinya. "Sudah tidak zamannya lagi kita jadi bangsa yang pengekor. Orang bikin perkumpulan, kita juga bikin. Orang sibuk reuni, kita ikut pula reuni," katanya.

Udin Pantau kembali mencerocos. Babah Aliong juga ikut kena sindir. "Satu bikin kedai kopi, semua orang juga buat kedai kopi. Di mana-mana ada kedai kopi. Saking banyaknya, bahkan yang ngopi di sana, sekarang malah para pemilik kedai kopi. Sebentar lagi muncul pula tu asosiasi pemilik kedai kopi. Alamaaak," kata Udin Pantau, kali ini dia terlihat tidak emosi, tapi malah tertawa geli.

Mendengar ucapan Udin Pantau itu, tawa saya pun ikut terpancing. Babah Aliong dan Ali Baba yang tadinya masih emosional dan kalem, juga mulai turun darahnya dan ikut tersenyum bahkan kemudian ikut tertawa berderai.

"Kalau itu yang Bung maksudkan, ada benarnya. Memang sekarang kita masuk dalam masa-masa pengekor. Apa yang lagi trend, semua berlari ke sana mengikuti dan seperti takut ketinggalan," kata saya.

"Termasuk dunia yang Bung tekuni, sekarang juga terseret ke dalam situasi musim-musiman itu," ujar Udin Pantau.

"Maksud Bung?" tanya saya
.
"Walau profesi dan pekerjaan kita berbeda, tapi aku mengikuti dunia bung," ucap Udin Pantau.

Udin Pantau bercerita tentang menjamurnya media massa online saat ini. "Semua kawan-kawan bung kini punya website, punya situs berita online. Bahkan, saya pernah baca di suratkabar, jumlah media online di daerah kita ini saja sudah ratusan bahkan mencapai ribuan. Itu juga pengekor namanya, tidak kreatif dan hanya musim-musiman," kata Udin Pantau bersemangat.

"Aku kira itu bukan pengekor atau tidak kreatif. Tapi karena memang tuntutan zaman dan juga dipengaruhi kondisi ekonomi saat ini," kata saya mencoba membela diri.

"Media cetak itu cost produksinya tinggi. Kalau online kan tidak seberat media cetak. Jadi, faktor itu yang lebih dominan kenapa banyak kawan-kawan saya yang beralih menjadi pengusaha media online ketimbang media cetak," saya mencoba menjelaskan sepanjang yang saya tahu.

"Aku tak mempermasalahkannya. Cuma saja yang aku perhatikan, kesan coba-cobanya sangat kuat. Karena banyak yang cuma dikelola satu orang. Dia pemiliknya dan dia juga pekerjanya. Cari berita sendiri, edit sendiri, posting sendiri, habis tu baca sendiri..hahaha,"  kata Udin Pantau sambil tertawa.

Malu hati juga saya mendengar ucapan Udin Pantau yang sepertinya cukup paham dengan isi 'periuk nasi' pofesi saya. "Bung tak usah merasa kaget dengan apa yang kuungkapkan tadi. Kawan aku yng lain juga banyak yang satu profesi dengan bung. Jadi, kalau aku tahu banyak soal kondisi media massa saat ini, itu wajar saja," ucap Udin Pantau.

"Sudahlah, aku mau jalan dulu," tiba-tiba Ali Baba berdiri dan berjalan ke arah kasir membayar minuman kami.

"Lha? Kok pergi saja? Cerita kita kan belum selesai" tanya Udin Pantau.

"Belum apanya? Kan sudah bung larang saya bikin kelompok reuni. Ya, sudah, saya akan kunyah-kunyah kritikan bung itu," kata Ali Baba sambil berlalu meninggalkan kami bertiga yang masih terus bergunjing ke sana kemari tanpa topik yang jelas. * tun akhyar
TERKAIT