Demo Protes Kecurangan Pilpres Kian Marak, Siang Ini Emak-emak Datangi Bawaslu

Aksi demo dan protes kecurangan Pilpres di Bawaslu. 
toRiau - Aksi protes kecurangan Pemilu serentak 2019 semakin marak pasca-pencoblosan 17 April silam. Hari ini, Selasa (30/4/2019), selain di Jakarta aksi serupa juga berlangsung di Bandung, Jawa Barat. 

Di Jakarta, massa dari Komando Barisan Rakyat Lawan Pemilu Curang (Kobarkan Perang) yang didominasi oleh kaum ibu-ibu telah memenuhi halaman gedung Bawaslu di Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat.

Mereka membentangkan spanduk seruan agar Bawaslu berani menghentikan proses Pemilu yang sarat dengan kecurangan, sambil meneriakan yel-yel "naik-naik Prabowo-Sandi, turun-turun Jokowi".

Selain masa aksi Kobarkan Perang yang didominasi emek-emek, sejumlah elemen lain seperti Komando Barisan Rakyat (Kobar) dan Brigade 08 juga bergabung melakukan protes di depan gedung Bawaslu dengan estimasi massa ratusan orang.

Aksi di gedung Bawaslu ini dijaga oleh dua Satuan Setingkat Kompi (SSK) atau sekitar 200 personel Brimob dan Sabhara dari Polda Metro Jaya. 

KPU Harus Diberi Sanksi Tegas

Sementara itu, Konsolidasi Mahasiswa Universitas Padjajaran (Unpad) menuntut Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar bertanggung jawab dan mendapatkan sanksi tegas atas kegagalan penyelenggaraan Pemilu serentak 2019.

"Termasuk tanggung jawab terhadap ratusan petugas KPPS yang meninggal dunia, kerena terjadinya tragedi tersebut tidak lepas dari kegagalan KPU dalam merencanakan sistem kerja," kata Koordinator Lapangan aksi Konsolidasi Mahasiswa Unpad, Farid di depan kantor Bawaslu Jawa Barat.

Sekitar 40 orang aktivis Konsolidasi Mahasiswa Unpad menggelar aksi di Bawaslu Jabar pada Selasa pagi. Siang, mereka akan menggelar aksi serupa di KPU Jabar dan DPRD Jabar.

Mereka turut berbelasungkawa atas meninggalnya ratusan petugas KPPS di seluruh Indonesia. Hingga pagi ini, terdata 318 petugas KPPS yang meninggal dunia.

"Kami juga menuntut pemerintah untuk memberikan kompensasi yang layak terhadap keluarga korban yang meninggal maupun sakit, meskipun kami menyadari bahwa nyawa manusia tidak dapat dinominalkan," ujar Farid.

Sebelumnya dijelaskan, tahun 2019 adalah kali pertama penyelenggaraan pemilu legistlatif dan pemilu presiden secara serentak, hal ini dilakukan dengan asumsi dapat menghemat anggaran yang dikeluarkan untuk pemilu, yang memang tidak pernah sedikit.

"Akan tetapi pemerintah dan penyelenggara pemilu teryata gagal melakukan efisiensi anggaran," terang Farid.

Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan RI, pemilu 2014 menghabiskan anggaran sekitar Rp15,62 triliun, sedangkan pemilu 2019 menghabiskan anggaran sekitar Rp25,59 triliun

Selain itu kenaikan anggaran penyelenggaraan pemilu yang hampir 50 persen tersebut, ternyata menghasilkan penyelenggara Pemilu yang sangat tidak profesional. Mulai dari simpang siur informasi mengenai dokumen A5 dan KTP elektronik sebagai syarat untuk bisa memilih di TPS, kendala-kendala teknis di banyak TPS karena kekurangan logistik hingga tingginya angka kematian petugas KPPS dalam proses pelaksanaan pemilu.

"Sungguh ini adalah bencana demokrasi bagi Indonesia!" demikian Farid sambil menegaskan, mereka tidak terlibat dalam urusan elite dan bukan bagian dari peserta pemilu. (**/rmol)
TERKAIT