Obrolan Kedai Kopi

Ilustrasi.
Setelah hampir tujuh tahun tak bertemu karena kesibukan, akhirnya kami  memutuskan untuk kembali berdiskusi di kedai kopi milik Babah Aliong di kawasan Senapelan. Aku  Bung Kumis, lalu Udin Pantau, Ali Baba dan tentu termasuk Babah Aliong. 

Dulu kami terkenal sebagai empat 'jagoan' kedai kopi. Tentu bukan dalam artian preman atau 'urang bagak' dalam istilah kampung saya. Hanya sebatas pelanggan paling betah berlama-lama di kedai kopi. Jika sudah bertemu, kami bisa duduk berjam-jam bahkan seharian membahas berbagai hal.

Babah Aliong, paling senang jika kami duduk berlama-lama di kedai kopinya. Selain ada teman ngobrol, Babah Aliong mengaku senang karena bisa menambah wawasan dan sekaligus melepaskan uneg-unegnya lewat ajang diskusi ala kedai kopi yang sebenarnya lebih tepat disebut sebagai debat kusir. 

"Haiyaaa...sudah lama kita tak jumpa. Lu kemana aja Bung Kumis," tanya Babah Aliong yang terlihat semakin ringkih dengan tubuh kurus dan tak lagi tambun seperti dulu.

"Aku tak kemana-mana, tapi ada dimana-mana. Babah apa kabar," jawab saya sambil tersenyum balik bertanya. 

"Kabar baiklah. Owe begini-begini aja. Sudah tua, sudah bau tanah. Sakit-sakitan. Lu lihat sendiri, badan owe sudah kulus keling," ujar Babah tetap dengan aksen cadelnya.

Tak lama berselang dua kawan kami lainnya datang bergabung. Yang datang pertama, Udin Pantau, mantan aktivis dan LSM yang kulihat juga sudah mulai memutih rambut dan kumisnya. Aku tersenyum melihatnya.

"Ngapa awak tersenyum begitu?" Tanya Udin Pantau sesaat setelah menyalami saya dan Babah Aliong. 

"Tak ada. Aku senyum karena awak makin putih dan bersih," ujar saya seenaknya.

"Bung masih seperti dulu ya. Setiap kalimat yg keluar dari mulut awak selalu bersayap. Bung bilang putih dan bersih, padahal saya jauh dari semua itu," ucap Udin Pantau sambil nenyeringai tanda kurang suka dengan pujian saya.

"Terserah awaklah," ujar saya, "Bagaimanapun ucapan saya itu spontan dan jujur. Apa memang rambut dan kumis awak tu sekarang ndak putih dan bersih?"

Tergelaklah Udin Pantau dan juga Babah Aliong mendengar ucapan saya. "Hahaha....loe sebenarnya mau bilang Udin Pantau sudah tua kan? Klu rambut dan kumis semua sudah putih memang tampak bersihlah. Ada ada aja Bung Kumis,"  ujar Babah tertawa.

"Hehehe...ya sudahlah. Mana bisa kita menolak takdir. Kalau memang harus tua, ya diterima saja," kata Udin Pantau menimpali. Kali ini saya lihat dia sudah tak kecil hati lagi.

Tak berselang lama muncul Ali Baba, konco kami lainnya. Mantan birokrat yang lebih awal  mempensiunkan diri ketimbang masa resminya ini, menyalami kami satu persatu seperti pejabat yang sedang bertemu warganya.

"Apa kabar kawan-kawan? Begitu lama kita tidak duduk semeja ngopi,"  kata Ali Baba menyapa.

"Kabar baik!!!" jawab kami serempak seperti murid-murid yang didatangi kepala sekolah ke ruang kelas. 

Saya lihat Ali Baba tersenyum dan kemudian berujar, "Bagaimana media Bung sekarang? Pasti makin sukses."

"Itulah Bung," jawab saya. "Sejak bung menghilang, media-media kehilangan narasumber yang kritis dan layak jual. Dan sejak bung hilang ditelan bumi, sejak itu pula media-media tak dibaca orang. Bung kan news maker."

Ali Baba tertawa mendengar ucapan saya. "Bisa saja Bung Kumis. Aku bukan siapa-siapa. Kalau Bung Udin bolehlah. Dia dari dulu memang tajam analisanya, apalagi kalau sudah bicara masalah lingkungan dan bongkar-membongkar keboborokan birokrat. Selesai sama dia tu," kata Ali Baba.

Kamipun tertawa berderai dan kemudian larut dalam obrolan khas kedai kopi setelah sekian lama tak jumpa. Banyak hal yang kami diskusikan dan banyak cerita yang patut untuk dikisahkan.  Tunggu dan ikuti obrolan kedai kopi berikutnya.  # tun akhyar

TERKAIT