CATATAN TUN AKHYAR, Pemred toRiau.co

Ketika RAL Dipailitkan


Di langit Bumi Melayu Riau, dulu, antara tahun 2002 hingga 2012, pernah terbang dengan gagah beberapa burung besi milik Pemerintahan Provinsi Riau. Burung besi alias pesawat terbang itu bernama Riau Airlines yang disingkat RAL. Rute yang dijelajahi awalnya pendek-pendek saja. Pekanbaru-Batam-Tanjungpinang-Natuna. Lalu, juga ada rute Pekanbaru-Padang, Pekanbaru-Jambi-Bengkulu-Lampung.

Meski berbaling-baling, jenis Fokker 50,  cukup nyaman naik pesawat RAL. Saya beberapa kali 
mencobanya naik untuk rute Pekanbaru-Padang atau Padang-Pekanbaru. Meski di rute-rute itu tidak terisi penuh, kadang hanya setengah, tapi saya bangga bisa menaiki pesawat 'milik sendiri'.  

Saat saya sampai di Padang atau akan kembali ke Pekanbaru, keluarga saya selalu bertanya naik apa? Saya selalu jawab, "Biasa, naik pesawat sendiri, Riau Airlienes," kata sambil tersenyum bangga.

Sayangnya, beberapa waktu kemudian, rute itu dipangkas. Riau Airlines tak lagi menerbangi rute tersebut. Seiring dengan 'semangat' luar biasa dan menggebu-gebu para pemimpin di Riau, jenis pesawatpun bergonta-ganti sepanjang 2002 hingga 2012. Dari fokker naik kelas ke jenis jet RJ-100 asal Inggris dan kemudian berganti lagi ke jenis Boeing 737-500. 

Entah karena terlalu bersemangat dan tidak memperhatikan masalah efisiensi, yang pasti RAL menjadi hight cost dan mulai limbung dalam hal finansial. Modal patungan antara Pemprov Riau dan 11 kabupaten/kota di Riau ditambah dengan kabupaten dan kota Provinsi Kepri, Jambi dan Lampung, yang dikumpulkan selama delapan tahun yakni Rp157 miliar kemudian berubah menjadi hutang. Tercatat terakhir sebelum berhenti total beroperasi, RAL memiliki hutang mencapai Rp200 miliar.

Suara-suara sumbang pun bermunculan. Mulai dari cerita miring tentang RAL salah kelola dan melenceng dari tujuan awal, yakni sebagai 'jembatan  udara' penghubung kabupaten-kabupaten di Riau yang terkendala jarak serta jalan darat yang tidak memadai, hingga isu tak sedap adanya aroma korupsi pembelian pesawat.

Misalnya saja pembelian pesawat antara tahun 2004 sampai 2006.  Saat itu Direksi dan komisaris sepakat membeli tiga pesawat jenis Foker F 50 seharga Rp85 miliar. Padahal kondisi pesawat yang dibeli ini merupakan bekas perusahaan lain.

Bila merujuk kondisi pesawat yang bagus, diperkirakan harga pesawat ini paling mahal hanya Rp25 miliar satu unit. Bila dengan kondisi yang baru saja, dengan jumlah tiga pesawat artinya harganya hanya Rp72 miliar. Tapi anehnya, justru pihak RAL membeli dengan harga Rp85 miliar. Pembelian pesawat tersebut, sejak awal sudah diendus ada mark up.

Kondisi gonjang-ganjing di manajemen serta kesulitan likuiditas pada akhirnya membawa RAL tak lagi bisa terbang. Terakhir, Kementrian Perhubungan pada sekitar April 2012 menyatakan, bahwa  izin atau lisensi Riau Air Lines (RAL) dicabut.  Dan sejak itulah, RAL hilang dari langit Riau dan secara perlahan menjadi besi tua dan "sarang ular" yang sempat teronggok di salah satu sudut Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta.

Pada 28 Januari 2013, Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa RAL tetap dalam status pailit yang merupakan penolakan terhadap kasasi atas putusan Pengadilan Niaga Medan pada 12 Juli 2012. Putusan MA ini ditetapkan majelis kasasi terdiri dari Mohammad Saleh, Djafni Djamal, dan Syamsul Ma'arif.

Keputusan majelis kasasi itu sekaligus memupus harapan manajemen RAL yang kala itu berharap bisa menghidupkan kembali  perusahaan penerbangan komersial tersebut. Sekaligus, putusan kasasi ini membuat RAL tidak memiliki masalah utang dengan kreditur lain, termasuk Bank Muamalat Tbk selaku pemohon kepailitan. 

Jika tidak dipailitkan, maka utang RAL ke para kreditur tentu saja akan sangat besar. Sebagai referensi saja, jika tidak dipailitkan dan tetap menggunakan kesepakatan perdamaian (homologasi) maka pihak kreditur sudah setuju dilakukan  restrukturisasi utang selama jangka waktu 8 tahun dan mengajukan potongan utang sebesar 23 persen atau setara dengan Rp 60 miliar serta memastikan terjaganya going concern perusahaan.

Namun keputusan pailit oleh MA itu hingga saat ini belum juga tuntas meskipun Pemprov Riau berkali-kali terus mengupayakannya. Letak masalahnya tentu saja karena proses mempailitkan oleh Pemprov Riau belum dilaksanakan menurut semestinya. 

Kalangan DPRD Riau baru-baru ini menegaskan, sah-sah saja Pemprov Riau berencana untuk 
mempailitkan RAL namun harus mengikuti aturan mainnya agar tidak ada pihak-pihak yang nantinya merasa dirugikan. Di antaranya, selesaikan utang ke karyawan sebesar Rp400 juta dan kemudian lakukan audit oleh pihak eksternal, bukan hanya Inspektorat dan BPKP. 

Sebagai BUMD yang telah banyak menyedot uang rakyat melalui APBD, tentunya, harus ada kejelasan penggunaan dan pertanggungjawaban ratusan miliar uang yang dihabiskan selama ini. Apakah memang seluruhnya ludes semata-mata karena bisnis penerbangan yang merugi ataukah akibat salah urus dan kemungkinan lainnya, seperti penyelewengan serta dugaan korupsi oleh oknum-oknum tertentu di  manajemen RAL?

Kita menunggu semua pertanyaan-pertanyaan itu terjawab. Dan, semoga saja, audit eksternal dapat dilakukan serta sekaligus membuka tabir sesungguhnya penyebab ambruknya Riau Airlines sebagai  maskapai penerbangan yang pernah jadi kebanggaan masyarakat Riau. ***
TERKAIT