Panas Susah, Hujan Susah

ilustrasi rehat
Babah Aliong duduk termenung di meja kasir ketika saya tiba di kedai kopinya di kawasan 
Senapelan. Dengan dagu bertumpu ke kedua tangan dengan siku menekan meja kasir,  Babah hanya memandang kosong ke arah saya saat masuk ke kedai kopi "Air Mendidih" itu.

"Wow...cerahnya," kata saya sambil tersenyum mencandainya.

"Haiyyaa....usahlah meledek juga Bung Kumis. Apa wajah owe seperti ini cerah? Katarak mata bung ," jawab Babah Aliong membalas saya.

Saya tertawa geli, karena memang saya sangat suka mencandai Babah Aliong yang sudah saya kenal sejak belasan tahun silam. "Hahahaha....sudahlah Bah, tak usah murung dan bersedih. Jalani saja hari-hari tua Babah dengan enjoy dan bahagia," kata saya.

Babah Aliong kemudian berjalan dari meja yang menjadi pusat kekuasaan dan ekonominya  menuju ke tempat biasa kami duduk di pojok paling belakang, tak jauh dari meja kasir.

"Aku sedihlah bung. Semakin lama, kedai kopi owe ini makin sepi. Bung lihat sendiri, dari 25 meja, cuma empat yang terisi. Pada kemana orang-orang sekarang ini. Sudah tak perlu lagi mereka bersilaturahmi di kedai kopi," tutur Babah Aliong.

Saya tertawa mendengarnya. Sambil menghirup kopi hangat yang disuguhkan pelayan baru Babah Aliong, saya mencoba menjawab kegalauan Babah Aliong. 

"Aku pikir ini bukan  orang-orang kehilangan semangat silaturahminya. Tapi kondisi ekonomi juga yang  membuat setiap orang berfikir ulang untuk sering-sering ke kedai kopi. Kalau tiap hari ke kedai kopi, selain menguras isi kantong, tentunya mereka tak punya waktu untuk mencari  nafkah. Cukuplah aku dan kedua teman kita saja yang tak peduli dengan situasi ekonomi saat ini," ujar saya.

"Benar juga yang bung katakan itu. Tapi dulu kok ramai ya?" kata Babah Aliong balik bertanya. "Dulu iu ekonomi negeri ini masih lumayan bagus. Sekarang dah hancur-hancuran," ujar saya. 

Saat kami terus berbincang-bincang muncul dua teman kami yang lainnya, Udin Pantau dan Ali Baba secara bersamaan. "Semalam hujan, sekarang panas, nanti hujan lagi. Sudah tak jelas lagi musim-musim sekarang ini," kata Udin Pantau sambil membuka jaket kulit warna hitamnya.

"Jangan menggerutu terus bung. Hujan dan panas itu rahmat. Nikmati dan jalani saja," lontar Ali Baba.

"Haiyyaaa....betullah itu. Mungkin karena musim yang tak jelas, maka kedai kopi owe jadi sepi begini," tiba-tiba saja Babah Aliong berucap.

Bukannya ikut menenangkan hati Babah Aliong yang sedang gundah-gulana karena sepinya pengunjung kedai kopinya, Ali Baba malah balik menyerang dengan ucapan yang  memojokkan. 


"Babah dan Bung Udin sama saja. Sama-sama tak mau mensyukuri nikmat. Apa salahnya hujan turun ataupun hari panas terik. Soal itu tak usahlah terus jadi perdebatan. Aku tengok di mana-mana orang mengeluhkan hujan karena ujung-ujugnnya banjir. Begitu juga kalau panas terik pasti nantinya negeri ini berkabut asap. Jalani sajalah," kata Ali Baba.

Sejauh ini saya memilih untuk jadi pendengar. Karena saya ingin merekam sebanyak-banyaknya perdebatan ketiga kawan-kawan ini untuk bahan cerita santai di rubrik media baru saya ini. Untuk menunjukkan saya ikut dalam perdebatan mereka, sesekali saya mengangguk-angguk dan kadang melepaskan senyum.

Tetapi akting saya itu terbaca juga oleh mereka. "Sudahlah bung. Jangan pura-pura tak  dengar atau tak paham dengan apa kita bahas ini. Paling bung sedang menyimak dan merekam pembicaraan kami untuk bahan tulisan di media bung," kata Udin Pantau.

Tergelak juga saya mendengar ucapan Udin Pantau yang seperti bisa menebak jalan pikiran saya. "Hehehe....seperti ahli nujum saja Bung Udin ini. Bisa menebak jalan pikiran orang," jawab saya.

Semestinya, kata saya, kepada mereka. Bukan soal hujan atau panas yang harus diperdebatkan. Tetapi sejauh mana kita mampu untuk mengatasi persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh kedua musim tersebut. 

"Hujan dan kemarau atau musim panas, pasti akan selalu datang silih berganti dan bahkan 
mungkin datang secara bersamaan," ucap saya.

"Wah ini sepertinya baru menarik," ujar Ali Baba memotong pembicaraan saya.

"Dengar aja dulu  Bung. Jangan dipotong dulu ucapan Bung Kumis itu. Nanti lupa lagi dia apa  yang mau disampaikan," saran Udin Pantau yang sebenarnya mengejek penyakit lama saya yang suka lupa kalau sedang bicara dipotong orang.

Saya hanya tersenyum kecut tapi saya pura-pura tak paham dengan ejekan Udin Pantau itu. "Sebenarnya yang membuat orang-orang jadi penggerutu saat musim hujan atau musim panas, bukan karena harus berbasah-basah ataupun berpanas-panas. Tapi soal dampak dan fakta di lapangan yang kita temui," ujar saya. 

Negeri kita ini, kata saya, hingga saat ini tak juga kunjung mampu untuk mengatasi banjir yang selalu terjadi ketika hujan turun.  "Ini persoalan klasik, persoalan dari waktu ke waktu yang tak juga mampu dicarikan solusinya oleh pihak yang berwenang. Tegasnya, ini soal political will pemerintah kota," kata saya.

Harusnya, kata saya, siapapun yang terpilih jadi kepala daerah, semestinya punya komitmen yang kuat untuk mengatasi masalah banjir. Harus ada kemauan untuk menyiapkan anggaran untuk memperbaiki saluran air atau drainase hingga pembuangan akhirnya. 

"Dan harus berani untuk membuat kanal-kanal besar yang akan menampung seluruh air akibat hujan dan kemudian mengalirkannya ke sungai. Dan sungai-sungai besar yang membelah kota dan kabupaten di daerah ini juga mesti ditata lagi, dibikinkan damnya," kata saya.

"Itu kan cerita lama bung, Lagian biayanya besar," ucap Ali Baba.

"Betul itu cerita lama," jawab saya, "Tapi menurut saya itulah solusinya. Soal biaya besar kan semua bisa dibebabkan ke APBD. Lha, untuk yang lain-lain saja dengan biaya ratusan miliar bahkan triliunan rupiah, bisa kok dilaksanakan."

"Iya, betul juga jalan pikiran bung itu. Saya melihat pimpinan daerah kita yang tak punya kemauan untuk kepentingan masyarakat banyak itu. Mereka hanya berfikir, proyek harus 
dibuat banyak dan dipecah-pecah sekecil mungkin supaya dianggap sebagai orang baik berhati malaikat," ucap Udin Pantau.

Kami tertawa mendengar ucapan Udin Pantau yang menyebut kata-kata 'orang baik berhati 
malaikat" itu. "Kalau malaikat tak perlu pakai APBD," ujar Ali Baba sambil tertawa.

"Lalu, pakai apa dong?" kata saya balik bertanya. "Usahlah bawa-bawa malaikat dalam masalah duniawi ini. Nanti dicabut nyawa bung, selesai semuanya," kata saya lagi.

Babah Aliong yang dari tadi ikut duduk bersama kami, terlihat pergi beranjak menuju meja kasir. Saya tidak tahu kenapa Babah Aliong pergi begitu saja. Entah kurang menarik baginya atau karena fikiran memang lagi kacau.

"Saya kira itu mesti dilakukan sebagai bukti keseriusannya sebagai pemimpin di kota ini. Toh, untuk masalah musim kemarau yang selalu berimbas pada datangnya kabut asap di negeri kita sekarang ini sudah berkurang. Saya kira itu karena penanganan yang serius, baik dari sisi kesiapan tim pemadam api maupun dari sisi law enforcement," kata saya.

Kami masih terus berdiskusi dan berdebat tentang masalah-masalah lainnya sampai akhirnya siang itu kami berpisah karena tugas dan kesibukan masing-masing. # tun akhyar
TERKAIT