CATATAN TUN AKHYAR, PEMRED TORIAU.CO

Skenario 'Head to Head' vs 'Multi Kandidat'

Tun Akhyar
Setelah Partai Amanat Nasional (PAN) berpindah ke lain 'hati', dari Syamsuar ke Firdaus MT, berbagai analisis dan spekulasi terus bermunculan di kalangan pemerhati politik menyongsong Pilkada Riau pada Juni 2018 nanti. 

Seorang pemerhati politik yang enggan ditulis jati dirinya mengungkapkan, "Setelah Firdaus berhasil menggeser Syamsuar dari dukungan PAN, diprediksi akan banyak muncul kejutan-kejutan lain," katanya dalam sebuah obrolan santai di kedai kopi.

Salah satu yang diprediksi akan terjadi adalah tentang jumlah kontestan Pilgubri. Jika saat ini yang mengapung ke permukaan jumlahnya masih di atas lima kandidat, banyak yang memperkirakan yang benar-benar dapat bertarung di Pilgubri hanya dua atau tiga pasang saja. 

Apa alasannya? "Karena parpol-parpol diperkirakan 'tersedot' oleh kemunculan sosok Firdaus, MT, Walikota Pekanbaru yang baru saja berhasil merebut simpatik PAN," ujar pemerhati politik tersebut.

Seperti diketahui, bersamaan dengan keberhasilan merebut 'hati' PAN, sejumlah parpol juga akan bergabung untuk mendukung Firdaus di Pilgubri. Yang sudah pasti adalah PPP karena sudah menyerahkan dukungannya saat Firdaus akan diputuskan PAN.  Lalu, yang hampir pasti adalah PKS dan Gerindra.

Menurut sebuah sumber, sudah terjadi komunikasi yang hangat antara Firdaus dengan Ketua Umum DPD Partai Gerindra Riau Eddy Tanjung beberapa hari lalu di Jakarta. Dan, konon, dari pembicaraan-pembicaraan tersebut, keduanya sudah menemukan kesamaan visi dalam melihat bagaimana seharusnya membangun Riau ke depan.

Dan jika Gerindra jadi bergabung dengan PAN, PPP dan PKS, maka Firdaus akan mengantongi dukungan 22 suara saat pendaftaran ke KPU nanti. Itu atinya, jauh melebihi syarat minimal pencalonan yang 13 kursi. 

Namun Firdaus yang berpenampilan tenang dan 'kalem' diprediksi tidak akan berhenti sampai di situ dalam mendapatkan dukungan partai politik. Dan sebaliknya partai-partai politik lain yang 'sepaham' dengan kelompok partai pengusung Firdaus tadi, juga bukan tidak mungkin satu persatu akan bergabung dalam koalisi besar itu.
 
Menurut analisa saya, saat ini terdapat dua situasi yang tengah diinginkan oleh kelompok-kelompok petarung. Di satu kelompok, petahana atau incumbent Arsyadjuliandi Rachman yang 
akan berpasangan dengan Bupati Rokan Hilir, Suyatno, tentu lebih nyaman jika semakin banyak calon-calon yang ikut bertarung.

Kelompok pendukung skenario "Multi Kandidat"  ini memiliki alasan yang cukup klasik. Semakin banyak yang ambil bagian, itu berarti para pemilih terbelah atau dukungan suara terpecah-pecah. 

Dan bagi seorang petahana yang sudah memiliki basis pendukung yang kuat, tentu sangat menguntungkan. Tinggal lagi merawat suara dari basis pendukung sendiri agar suaranya mereka 'bulat' dan tidak lari ke calon lain.

Pasangan Andi Rachman -- begitu Arsyadjuliandi Rachman akrab disapa -- dengan Suyatno, saat ini memang baru dipastikan diusung oleh Partai Golkar yang memiliki 14 kursi di DPRD Riau. Akan tetapi dari 'bisik-bisik tetangga', banyak disebutkan pasangan Andi Rachman-Suyatno diprediksi akan didukung oleh PDIP, Hanura dan NasDem nantinya. 

Bagaimana dengan pasangan HM Harris dan Yopi Arianto yang sudah mendapat rekomendasi dari PDIP? Banyak kalangan pemerhati hingga pengamat dan analis politik lokal, pesimis duet itu akan berlanjut. Selain tak kunjung jelasnya 'perahu tambahan' agar pasangan ini memenuhi persyaratan saat pendaftaran nanti, berbagai persoalan, khususnya kasus hukum yang dihadapi HM Harris, membuat Bupati Pelalawan itu 'kelelahan' saat ini.

Apalagi sempat beredar rumor yang menyebutkan bahwa Harris dan pasangannya, Yopi Arianto, sempat 'bergesekan' akibat kegagalan Harris meraih dukungan perahu tambahan dari PAN. Meski soal keretakan itu sudah dibantah Yopi, tapi faktanya sampai saat ini belum terdengar kemajuan dari pasangan ini dalam mendapatkan 'perahu' lain untuk memenuhi persyaratan yang 13 kursi karena PDIP hanya memiliki 9 kursi di DPRD Riau.

Setelah Harris-Yopi, masih ada satu pasangan lainnya yang digadang-gadang ikut Pilgubri. Yakni, duet Lukman Eddy yang juga Wakil Ketua Komisi II DPR-RI dengan Arsi Auzar. Lukman Eddy (LE) didukung oleh PKB yang memiliki 6 kursi di DPRD Riau, sementara Asri Auzar yang notabene adalah Ketua Partai Demokrat Riau memiliki 9 kursi di DPRD Riau atau sama dengan yang dimiliki PDIP.

Pertanyaan sederhana sering mencuat beberapa waktu terakhir ini. Apakah mungkin, Demokrat dengan jumlah kursi yang jauh lebih besar, hanya mengambil posisi sebagai Wakil Gubernur saja di Pilgubri, yang notabene juga 'ajang pemanasan' bagi parpol-parpol  untuk Pemilu Legislatif dan Pilpres 2019? 

Jika keduanya berpasangan 'nilai jual' duet LE-Asri Auzar dalam pengamatan banyak kalangan jauh di bawah petahana Andi Rachman-Suyatno maupun Harris-Yopi. Dan akan semakin tersisih jika Firdaus benar-benar bisa mewujudkan 'duet maut' dengan Rusli Effendi. Rusli yang salah seorang Ketua DPP PPP merupakan representasi masyarakat Pesisir Riau, dimana Rusli adalah putra asli Rokan Hilir.

Jika Firdaus diyakini bakal bisa menguasai suara Pekanbaru dan Kampar, Rusli Effendi diprediksi bisa berjaya di kawasan pesisir Riau, mulai dari Dumai, Rokan Hilir, Bengkalis dan Siak. Hanya petahana dan pasangannya yang juga berasal dari pesisir Riau, yakni Suyatno, yang bakal bisa bertarung sengit dalam pengumpulan suara di Pilgubri 2018 nanti.

Melihat situasi tadi, saya memprediksi sebuah skenario 'head to head' juga sedang digarap oleh para 'sutradara' politik untuk memuluskan langkah Firdaus memenangkan Pilkada Riau. Dan di sisi lain, sebuah skenario "multi kandidat' juga sedang dibahas untuk menghindari 'adu balak' yang sangat beresiko bagi seorang petahana itu.

Nah, jika skenario 'head to head' ini mau dijalankan, tentu saja partai-partai yang belum merapat atau jadi pengusung 'calon jadi' akan langsung terbelah ke kedua kubu saja. Dengan melihat peta koalisi nasional dan kepentingan 2019, partai-partai yang masih dalam kebimbangan akan bergerak sesuai arah pusat. 

Tentu saja skenario dan upaya yang akan dilakukan kelompok "multi kandidat" jelas berbeda terbalik dengan skenario kelompok "head to head". Menghindari 'head to head' tentu berarti harus memaksakan banyak calon.

Karena itu lazim terjadi dalam dunia politik pemilihan, kandidat yang mau menang atau sedang berkuasa, akan memunculkan calon alternatif yang tugasnya semata untuk memecah suara di kantong atau basis suara lawannya.

Apakah memang seperti itu potret Pilkada Riau pada Juni 2018 nanti? Kita ikuti dan lihat perkembangan ke depan. Siapa tahu benar-benar banyak kejutan dan manuver politik atau justru hanya biasa-biasa saja. ***

TERKAIT