Rinai Bening kasih

Takabur dan Lupa Menilai Diri


TAKABUR adalah menganggap rendah orang lain, merasa lebih dibandingkan dengan orang lain. Biasanya di pengaruhi oleh keturunan, kekayaan, kedudukan, kecantikan, ketampanan, kepandaian, dan sebagainya. Dalam artikata sama dengan kesombongan, keangkuhan, membanggakan diri sendiri. Takabur merupakan sebagian dari sifat tercela (madzmunah).

Takabur juga sering didefinisikan dengan rasa kagum terhadap diri, sikap suka membangga-banggakan, membesar-besarkan, dan membusungkan dada. Lantaran kagum pada potensi dirinya, akibatnya membuahkan sikap arogan, pongah, sombong, dan angkuh terhadap orang lain. Hanya dialah pemilik superioritas dan tak ada seorang pun yang bisa menandinginya.

Merasa hebat, kuat dan lupa tempat berdiri juga bisa roboh. Bahkan orang-orang takabur tak lagi bisa menilai dan melihat ke dalam dirinya sendiri, tentang kekurangan dan kebodohannya. Takabur juga memicu sifat lainnya, tamak dan tak hendak keluar dari kenyataan yang membuat dia ingin selalu di atas, dipuja dan disanjung. Takabur juga meremehkan orang lain dan menghilangkan etika dan tatakrama.

Take and give tak masuk dalam kamus kehidupan orang-orang takabur. Dia bebal terhadap inovasi, saran, dan kritik orang lain. Takabur tidak hanya berbahaya terhadap orang lain tetapi juga terhadap dirinya sendiri. Dia hanya tahu kelemahan orang lain, sedang boroknya sendiri tak ia sadari. Dia menutup mata rapat-rapat akan kemajuan orang lain.

Jalaludin Rumi, sufi besar Persia abad ke-13 berucap, “Sebuah pohon yang sarat buah-buahan, cabang-cabangnya merunduk ke bumi. Tetapi kemudian pohon itu mengangkat kepalanya ke langit, dapatkah kita berharap memetik dan menikmati buahnya?’’

Dalam surat Al-Nahl [16]:23) dikatakan, "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong." Juga dalam surat Al-Isra’([17]:37) yang menyakan, "Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung."

Kenapa tidak belajar dari bumi, yang meski berjibun makhuk mengeruk pelbagai karunia darinya namun ia tetap berada di bawah? Manusia kerap lupa kalau dia suatu saat juga akan jatuh, setinggi apapun berada.***
TERKAIT