Hati-Hati, Ahli Ibadah yang Bodoh Bisa Mendatangkan Musibah


PEKANBARU - Anjuran serta teguran Allah SWT mengenai pentingnya menjadi manusia berakal kerap disinggung dalam sejumlah ayat-ayat dalam Al-Quran. Pada sisi lain Islam juga menekankan bagi setiap hamba untuk selalu menjadi pribadi yang taat dalam beribadah.

Yang dimaksud ahli ibadah yang bodoh antara lain, ia beribadah tanpa adanya landasan ilmu, banyak mengerjakan ibadah, tapi sebenarnya tidak memahami ilmu penting terkait ibadah tersebut.

Misalnya, mereka naik haji, tapi tidak memahami sejarahnya, tujuannya, tata cara yang benarnya, mereka berhaji hanya karena ingin mendapat gelar Haji di depan namanya, supaya semua orang tahu bahwa ia telah mengeluarkan uang banyak untuk ke tanah suci.

Ada juga yang berinfak dan bersedekah tanpa ilmu, ia mengeluarkan sedekah dari hartanya yang haram, yang tentu saja tidak akan diterima oleh Allah kecuali ia mau bertaubat dari mendapatkan penghasilan haram tersebut.

Pada sisi lain ada juga manusia yang suka berbuat lalim, bermaksiat dan tidak menjalankan ibadah agamanya. Lalu kemudian timbul pertanyaan, manakah yang lebih baik antara ahli ibadah yang bodoh dengan orang yang lalim?

Dalam sebuah hadis shahih yang diriwayatkan sahabat Anas bin Malik, dia berkata: “Aku memuji kebaikan seseorang di hadapan Rasulullah SAW, kemudian Rasulullah justru bertanya: bagaimana akalnya? Mendengar hal ini, para sahabat berkata: wahai Rasulullah, ibadahnya... akhlaknya... kesopanannya, namun justru Rasulullah bertanya kembali: “Bagaimana akalnya?”

Mendengar jawaban Rasulullah, para sahabat justru terheran-heran lantas bertanya: “Wahai Rasulullah, kami memuji ibadahnya dan kebaikannya, sementara engkau bertanya kepada kami tentang akalnya?”

Rasulullah kemudian menjawab: “Innal-ahmaqa al-abida yushibu bijahlihi a’zhama min fujuril-fajiri wa innama yaqrabu an-nasu min Rabbihim bizzulafi ala qadri uqulihim,”.

Artinya: “Ahli ibadah yang bodoh akibat kebodohannya dapat mendatangkan musibah yang lebih besar dibandingkan dengan kemaksiatan yang dilakukan seseorang yang zalim. Dan kedekatan manusia dengan Tuhannya (salah satunya) ditentukan berdasarkan kadar akalnya."

Imam al-Mawardi dalam bukunya yang diterjemahkan dengan judul Kenikmatan Kehidupan Dunia dan Agama menyebut, seandainya kecerdasan akal muktasab itu dikembangkan melalui proses pengembangan ketajaman berfikir, maka akal tersebut akan menemukan kesempurnaan secara mutlak dan pemiliknya berhak mendapatkan keutamaan dan kemuliaan dari ilmunya.

Kendati demikian, Islam juga tidak serta-merta menganjurkan para pengikutnya untuk menjadi pribadi yang zalim.

Dalam berbagai literatur Islam, Rasulullah kerap menekankan kepada kaum Muslimin untuk menjadi umat yang kuat. Baik itu secara keilmuan, ketakwaan ibadah, maupun dalam status sosial serta kekayaan yang diperoleh secara halal.***/sumber: khasanah rol
TERKAIT