Dugaan Korupsi Pengelolaan Dana di Koperasi Petani Sawit di Riau, Salah Satu Perusahaan Plat Merah Dilaporkan ke Kejati

Ilustrasi
PEKANBARU - Dugaan korupsi pengelolaan dana Kredit Koperasi Primer untuk Anggota (KKPA) Koperasi Petani Sawit Makmur (Kopsa-M) yang berada di Desa Pangkalan Baru Kecamatan Siak Hulu,  Kampar, Riau, dilaporkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau oleh Indonesia Law Enforcement Monitoring (Inlaning). Dalam hal ini, yang dilaporkan adalah PTPN V dan oknum di perusahaan plat merah tersebut.

"Iya benar, sudah masuk laporannya," ujar Kasi Penkum dan Humas Kejati Riau Muspidauan saat dihubungi merdeka.com, Rabu (8/7/20).

Sementara itu, Direktur Utama PTPN V Pekanbaru Jatmiko saat dihubungi belum merespons konfirmasi wartawan. Pesan yang dikirim juga tidak berbalas.

Begitu juga dengan Humas PTPN V Pekanbaru Rizky, dia belum bersedia memberikan komentar terkait laporan tersebut.

Terpisah, Direktur Inlaning, Dempos Tampubolon mengungkapkan, laporan telah dilayangkan pada 25 Juni 2020. "Kami meminta Kejati Riau mengusut dugaan korupsi dalam pembangunan KKPA tersebut," tegas Dempos.‎

Dempos mengurai dugaan korupsi yang diperkirakan merugikan negara lebih dari Rp 100 miliar tersebut merupakan rentetan penyimpangan di perusahaan pelat merah itu.

Dikatakan Dempos, ada empat hal yang menjadi menjadi fokus laporan. Pertama, dugaan ada penyalahgunaan keuangan kredit KKPA dalam pembangunan kebun atas kredit sebesar Rp 54 miliar pada Bank BRI Agro Pekanbaru.

"Dana Rp 54 Miliar habis, tetapi kebun tidak dibangun dengan baik. Hal ini terbukti dari kondisi fisik kebun dan sarana prasarana kebun seperti jalan poros, jalan blok, dan gorong-gorong yang tidak layak. Akibatnya, negara (PTPN V) harus menanggung pembayaran kredit pada Bank BRI Agro karena hasil produksi kebun kelapa sawit Pola KKPA yang dibangun PTPN V adalah kebun gagal," terang Dempos.

Bahkan 100 hektare dari lahan KKPA tersebut puso (gagal tanam), akan tetapi Sertifikat Hak Milik (SHM) dari lahan tersebut tetap diagunkan di Bank Mandiri Palembang.

"Ini artinya lahan puso tetap dibebani utang dan dana pembangunan lahan puso tersebut ke mana?" ujar Dempos.

Kedua, Inlaning menduga ada penggelembungan kredit pada saat pengalihan kredit dari Bank BRI Agro Pekanbaru ke Bank Mandiri Palembang karena kredit awal sebesar Rp 54 miliar, setelah 10 tahun berjalan bukannya berkurang tetapi malah tambah besar menjadi Rp 83 miliar pada Bank Mandiri Palembang.

Ketiga, terhadap besarnya kredit yang dicairkan oleh Bank Mandiri Palembang, Inlaning menduga ada permainan karena sangat tidak masuk akal kebun gagal dengan produksi rata-rata sekitar 320 ton/bulan pada tahun 2013 bisa dicairkan kredit sebesar Rp 83 miliar dengan cicilan kredit Rp 900 juta lebih perbulan. Pencairan kredit sebesar Rp 83 miliar tersebut masuk ke rekening PTPN V.

Pencairan kredit yang tanpa Appraisal dari konsultan independen dan tanpa hasil penilaian fisik kebun oleh Dinas Perkebunan Kabupaten Kampar atau Provinsi Riau menimbulkan kerugian negara yang sebesar, karena kemampuan bayar Kopsa-M sangat minim akibat produksi kebun tidak sampai 0,5 ton/bulan.

"Perkiraan kita hingga berakhir kredit pada tahun 2023, negara (PTPN V) akan menanggung kerugian lebih dari Rp 100 miliar, karena PTPN V merupakan penjamin (Avalist) berupa Coorporate Guarantee atas utang tersebut," jelasnya.

Keempat, Dempos menduga ada penyalahgunaan keuangan kredit pada Bank Mandiri Palembang karena sesuai dengan Perjanjian Kerja sama No. 07 tanggal 15 April 2013, kredit sebesar Rp 83 miliar tersebut sebagian diperuntukkan untuk perbaikan kebun KKPA dan sarana prasarana kebun KKPA.

Namun dana tersebut tidak dipergunakan untuk perbaikan kebun KKPA dan sarana prasarana kebun KKPA Kopsa-M.

"Untuk apa dana tersebut digunakan, Kopsa-M sampai hari ini tidak mendapat penjelasan apapun dari PTPN V," pungkas Dempos. (man)



sumber: merdeka.com/liputan6.com
TERKAIT