Kok Seratusan Petani Sumut Ini Rela Jalan Kaki Ingin Temui Jokowi di Istana Negara? Berikut Adalah Duduk Perkaranya, dan Tanggapan PTPN II dan Kepolisian..(sambungan)

Seratusan
Konflik Lahan Petani Sei Mencirim Dengan PTPN II

Konflik serupa terjadi antara petani Sei Mencirim dengan PTPN II atas lahan seluas 500 hektar dan berlangsung puluhan tahun. Bermula tahun 1877 -1927 saat Belanda membuka perusahaan tembakau di Sei Mencirim atau Seongei Mentjirim bernama Tabak Maatschappu seluas 5.436 hektar.

Kekalahan perang membuat Belanda angkat kaki dari lahan tersebut dan tahun 1952, Presiden Sukarno memerintahkan kepada seluruh pejuang untuk menguasai dan bercocok tanam di lahan yang pernah dikuasai Belanda.

Dengan dasar inilah, rakyat (Laskar Pejuang Kemerdekaan) Sei Mencirim, Namo Rube Julu, Namo Rube Jahe, Salang Paku, Salang Tunas, dan Tanjung Pamah mulai bercocok tanam hingga membuat tempat tinggal atau rumah gubuk untuk menghidupi keluarganya di atas tanah seluas lebih kurang 500 hektar.

Dan pada tahun 1959 pemerintah daerah yaitu Bupati Abdullah Eleng membentuk sebuah Badan Penyelesaian Persengketaan Tanah Sumatera Timur (BPPST) untuk menghindari konflik atau sengketa tanah yang ada di Desa Sei Mencirim, Namo Rube Julu dan sekitarnya. Penertiban di lahan tersebut dimulai tahun 1961 dan mengakibatkan konfik berkepanjangan hingga 11 Maret 2020.

Penjelasan PTPN II

Kassubag Humas PTPN II, Sutan Panjaitan ketika dikonfirmasi melalui telepon mengatakan, lahan-lahan dengan nomor sertifikat 171 Simalingkar A yang dituntut oleh masyarakat tersebut adalah lahan milik PTPN II dengan masa berlaku hingga tahun 2.034 seluas 854,26 hektar.

"Di situ yang dituntut masih HGU, bukan eks HGU. Dan kan disinggung soal HGB, memang kita alihkan ke HGB," katanya saat dikonfirmasi melalui telepon, Jumat (17/7/20).

Dijelaskannya, selama ini pihaknya selalu berupaya menangani kasus tersebut dengan persuasif dan solusi damai.

Mulai dari dialog dengan melibatkan para pemangku kepentingan unsur Muspida dan tokoh masyarakat setempat dalam menyelesaikan setiap permasalahan sengketa lahan untuk menghindari konflik bekepanjangan. 

Dalam keterangan tertulis yang diterima, disebutkan penerbitan HGU No. 171/Simalingkar A seluas 854,26 hektar tersebut pernah digugat oleh masyarakat Forum Kaum Tani Lau Cih di PTUN Medan.

Namun, perkara tersebut telah memperoleh putusan Kasasi di MA RI No. 5K/TUN/2020 yang pada intinya menguatkan putusan hukum PTUN Medan dan Pengadilan Tinggi TUN yang menyatakan bahwa gugatan tidak dapat diterima atas klaim sepihak Forum Kaum Tani Lau Cih.

PTPN II juga memberikan tali asih secara bertahap kepada masyarakat yang bersedia meninggalkan lahan tersebut dan menyerahkan kembali tanah tersebut kepada PTPN II sesuai dengan hasil kesepakatan dengan dengan Muspida dan DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Pengambilalihan yang dilakukan sejak 2017 hingga 2019 juga melibatkan unsur Muspika, aparat keamanan dan aparat penegak hukum. Selama periode tersebut PTPN II sudah menyerahkan tali asih atau ganti rugi kepada 199 kepala keluarga untuk lahan seluas 356.093 m2. 

Penjelasan Kapolda Sumut

Secara terpisah, Kapolda Sumatera Utara, Irjen Pol Martuani Sormin di Mapolrestabes Medan beberapa waktu lalu kepada wartawan mengatakan, penanganan konflik atau masalah pertanahan sudah diambil alih oleh Gubernur Sumut.

"Kita tunggu hasilnya. Terakhir kemarin rapat dengan BPN, Kanwil BPN Sumut itu seluruh daftar nama itu sedang dalam pemeriksaan. Soal jalan kaki ke Jakarta itu hak semua orang untuk kemerdekaan menyampaikan pendapat. Jalan kaki juga boleh, tidak ada yang melarang," katanya. (man)



sumber: kompas.com
TERKAIT